Jumat, 07 Juli 2017

Mimpi Soekarno Dan Estafet Tiga Kota Jadi Ibu Kota

Mimpi Soekarno Dan Estafet Tiga Kota Jadi Ibu Kota


JAKARTA, JITUNEWS.COM - Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangka Raya sedang menjadi topik pembicaraan di kalangan masyarakat. Untuk diketahui, Republik Indonesia sebenarnya sudah beberapa kali berpindah ibu kota dan pusat pemerintahan sejak zaman kemerdekaan. Kota mana saja yang dimaksud?

Untuk Makanan Orangutan, BOS Nyaru Menteng Habiskan Rp 10 Juta/hari

Berawal dari Jakarta

Jakarta dahulu dikenal sebagai kota pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Nama Sunda Kelapa kemudian diganti menjadi Jayakarta oleh Pangeran Fatahillah pada tahun 1527. Pada 1619, VOC yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. 

Soal Pemindahan Ibu Kota, Fary Djemi Francis: Negara Jangan Diatur Berdasar Pemimpin Semalam

Ia kemudian mulai mendirikan bangunan-bangunan yang menjadikan pemandangan Batavia serupa dengan kota-kota di Belanda. Saat Perang Dunia II pecah, Batavia jatuh ke tangan Jepang dan namanya pun diganti menjadi Djakarta. 

Pemerintahan Belanda dan Jepang yang sejak awal memang berpusat di Jakarta itu lah yang membuat Soekarno akhirnya memutuskan untuk menyampaikan proklamasi kemerdekaan RI di kota tersebut. Seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan pun akhirnya dijalankan di Jakarta, hingga pada akhirnya berpindah ke Yogyakarta karena alasan keamanan setelah sejumlah peristiwa yang terjadi usai masa kemerdekaan RI.

Yogyakarta

Kota pertama yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia setelah dipindahkan dari Jakarta adalah Yogyakarta. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII merupakan penguasa pertama yang menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keduanya kemudian menawarkan kepada Soekarno untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta saat keamanan Jakarta kembali terancam akibat tentara Belanda yang kembali datang. Tawaran tersebut pun diterima dan Yogyakarta resmi menjadi ibu kota negara pada 4 Januari 1946. 

Pemindahan ibu kota tersebut bukan tanpa alasan. Yogyakarta dinilai sebagai kota yang sangat mendukung kemerdekaan RI. Saat proklamasi kemerdekaan disuarakan, Yogyakarta menjadi kota pertama yang menyiarkannya melalui pengeras suara di Masjid Gedhe Kauman. 

Bukittinggi

Pemindahan pusat pemerintahan juga sempat terjadi kembali pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Saat itu Yogyakarta telah jatuh ke tangan Belanda. RE Baharudin dalam buku Tjerita Tentang Pemerintahan Darurat Sjarifudin di Sumatera Tengah mengatakan bahwa pemindahan pusat pemerintahan tersebut merupakan salah satu langkah antisipasi dan persiapan jika para pemimpin tertangkap.

Pemilihan Bukittinggi sebagai alternatif ibu kota darurat saat itu tidak lepas dari sosok Sjafrudin Prawiranegara yang memang telah disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat di Bukittinggi jika Belanda kembali melakukan agresi.

Di tengah persiapan pembentukan pemerintahan darurat di Bukittinggi tersebut, Moh Hatta diminta kembali ke Yogyakarta untuk melakukan perundingan dengan Belanda dengan dimediasi Komisi Tiga Negara. Perundingan tersebut gagal dan berbuah Agresi Militer Belanda II.

Bireuen

Setelah menguasai Yogyakarta, agresi kedua Belanda yang akhirnya pecah tersebut pun berhasil menaklukkan Bukittinggi. Oleh karena itu, pusat pemerintahan negara terpaksa dipindahkan ke Bireuen, Aceh, meski hanya satu pekan. Kondisi Bireuen yang disebut relatif aman menjadi salah satu alasan pemindahan tersebut. Bireuen pada saat itu memiliki status sebagai pusat kemiliteran. Soekarno diketahui memegang kendali pemerintahan saat itu di kediaman Kolonel Hussein Joesoef yang kini dikenal dengan Pendopo Kabupaten Bireuen. 

Palangka Raya dan Mimpi Soekarno

Wijanarka dalam buku Soekarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya menyampaikan mimpi Soekarno menjadikan Palangka Raya sebagai ibu kota negara. "Jadikan Palangka Raya sebagai modal dan model," kata Soekarno seperti dikutip dari buku tersebut.

Selain itu, Soekarno juga ingin mengurangi sentralistik Pulau Jawa. Soekarno ingin membangun ibu kota yang murni berasal dari dirinya sendiri, bukan dari peninggalan penjajah seperti yang berada di Pulau Jawa.

Selain itu, Presiden Pertama RI tersebut juga ingin memanfaatkan potensi pinggiran Sungai Kahayan untuk dijadikan tempat indah yang pemandangannya dapat dinikmati oleh rakyat.

"Janganlah membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Lahan di sepanjang tepi sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," kata Soekarno lagi.

Sayang sekali keinginan Soekarno tersebut belum dapat diwujudkan akibat semakin lemahnya kondisi ekonomi Indonesia pada era 1960-an. 

Saat ini, wacana pemindahan ibu kota tersebut kembali bergulir di era pemerintahan Jokowi. Selain memiliki potensi daerah yang masih dapat dibangun, kondisi alam Palangka Raya juga relatif aman dari bencana seperti banjir dan gempa bumi. Hal ini lah yang juga menjadi salah satu pertimbangan akan dipindahkannya pusat pemerintahan ke ibu kota Kalimantan Tengah tersebut. 

Soal Pemindahan Ibu Kota, Begini Tanggapan Menteri PUPR

Penulis : Nugrahenny Putri Untari
قالب وردپرس
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Arsip Blog

Definition List

Unordered List

Support